Jumat, 15 Maret 2019

Politik dalam Perspektif Keluarga


Sebuah perhatian khusus, untuk mencoba mahfum dengan agenda acara literasi maupun apresiasi film di Solo yang bisa mengalami keterlambatan hingga 1 jam dari jadwal seharusnya. Mulanya memang mengecewakan, namun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan penggelar acara sebab cukup sulit nyatanya menghadirkan khalayak ramai dalam acara serupa seperti yang dikehendaki.. Pun, hujan enggan reda kala itu, layar menyuguhkan tangan yang berkerut membuka lembaran buku usang sebagai adegan pembuka film, melankolia menjadi paripurna. Beberapa waktu lalu, Bioskop Banjarsari menghelat pemutaran film dokumenter di Rumah Banjarsari Solo (20/02). Sebuah kausa awal untuk menambah jejak apresiasi film di Solo.
Angin Pantai Sanleko mendapat giliran pertama pemutaran. Film karya Rahung Nasution dan Yogi Fuad tersebut telah memperoleh nominasi Film Dokumenter Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2018 serta sebelumnya telah diputar pada Forum Film Dokumenter 2018, Festival Film Indonesia 2018, cum di Cinespace. Sedangkan film kedua berjudul Sepanjang Jalan Satu Arah merupakan film garapan Bani Nasution dan telah masuk Nominasi Festival Film Indonesia (FFI) kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik 2017 serta mendapat Special Jury Mention di Sea Short Film Festival 2017. Ini merupakan pemutaran tahun ke-3 setelah sebelumnya di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2017 dan Kineforum 2018.
Ingatan yang Memudar dan Rasa Serupa
Angin Pantai Sanleko yang berdurasi 19 menit mengusung sudut pandang yang lebih intim dan sederhana dibanding film Pulau Buru Tanah Air Beta (2016). Film Buru besutan Rahung Nasution itu mengangkat tema yang lebih kompleks dan mengambil sudut pandang kesejarahannya. Namun pada tahun pertama pemutarannya film ini banyak menuai pelarangan sebab ada kaum-kaum cemas yang merasa film tersebut membangkitkan ideologi komunis. Boleh jadi Angin Pantai Sanleko dibuat menjadi versi “aman” nya sehingga lebih leluasa untuk diputar tanpa menimbulkan kontroversi apapun.
Dengan menyorot Ken, putri Hesri Setiawan ekstapol Pulau Buru. Ken, mendampingi ayahnya untuk menelusuri ingatan serta mengunjungi teman-temannya dulu saat di Pulau Buru. Hesri memutuskan mendatangi kuburan mendiang teman satu tempat tidurnya dulu, Heru. Ia menceritakan pada Ken bahwa ia menandai nomor baju Heru yang berurutan dengan nomornya yang berarti ia dan Heru akan tidur bersebelahan. Sebuah memori perih, terlebih harus mengingat Heru yang belum sempat menjejakkan kakinya di luar pulau Buru setelah bebas hingga akhir hayat.
Ingatan Hesri samar sebab usia menanggalkan dayanya, ia tidak bisa merasai apa-apa ketika mengunjungi  monumen di Desa Savanajaya. Tak luput pula, puisi Hesri di sela cerita sebagai manifestasi sastrawan yang terasingkan bersama ribuan tapol lainnya. Penderitaan karena diperlakukan sebagai tahanan politik dan digiring memasuki pulau Buru dinarasikannya begitu apik sekaligus miris.
 Bertemu pula dengan beberapa ekstapol, Hesri dengan getir menyatakan masa hidupnya tidak akan menentu ke depan, bahkan untuk memperjuangkan semua yang telah berlalu di Pulau Buru dan membuat pemerintah mengakui ketidakadilannya selama ini. Mendengar hal itu Ken terisak, ia pun tidak terima dengan beratnya hidup yang dijalani ayahnya selama ini. Sejarah yang yang diajarkan di sekolah tak pernah menyentuh cerita ini sama sekali, bahkan untuk permukaannya sekalipun.
Ken merasa hanya di sini, di pulau Buru, bersama orang-orang dengan pengalaman yang sama yang bisa membuatnya begitu jujur akan asal-usul keluarga, mengingat selama ini tidak mudah untuk memperkenalkan dirinya sendiri di luar pulau Buru, yang pasti menganggap orang-orang yang berasal dari sana adalah para kriminal. Sehingga kita tahu, keluarga tak pernah absen terjamah oleh apa-apa yang terjadi di ruang publik kehidupan setiap anggotanya.  
Ihwal demikian bisa pula kita temukan pada film garapan Pritagita Arianegara Laut Bercerita (The Sea Speaks His Name) yang merupakan visualisasi novel Leila S.Chudori  dengan judul sejenis. Sepeninggalan Laut yang menjadi korban penculikan oleh aparat pemerintah, keluarga Laut bersama dengan keluarga lainnya yang mengalami nasib serupa bersatu untuk terus menuntut keadilan pemerintah dan melakukan aksi Kamisan bersama.
Lesap Sekat Politik di dalam Keluarga
Angin di Sepanjang Jalan Satu Arah adalah cerita yang terinspirasi dari kehidupan pribadi sutradara, Bani Nasution dengan sang ibu yang tinggal di Laweyan, Solo. Adegan pertama menyorot ibu yang sedang berbicara melihat ke kamera, ke arah Bani. Membuat penonton begitu dekat dan merasa sedang benar-benar berbincang dengan ibu. Ibu Bani dinarasikan sebagai sosok yang taat agama, memakai kerudung bahkan saat di dalam rumah, acapkali mengirim pesan ke Bani ketika jauh dari rumah untuk sekadar mengingatkan sholat. Namun demikian, Bani sosok pemuda berambut gondrong yang gemar membuat film dan memiliki pemikiran bebas terkadang memilih menghindari sang ibu.
            Menjelang PILKADA, ibu kian masif mendesak Bani untuk pulang dan mencoblos. Terutama memilih pemimpin dari segi agama teramat penting, dan menjadi jihad bagi ibu. Sang ibu pun turut aktif menjadi tim sukses kala itu. Penggambaran ibu yang menghimbau ibu-ibu lain saat pengajian untuk mencoblos salah satu calon yang digadang ibu Bani begitu akrab dengan keseharian nyata politik kita saat ini. Berbaurnya politik dan agama serta fanatisme berhasil Bani rangkum dengan  mengambil sudut pandang ranah privat dan karib dengan realitas yang ada. Detail setiap adegan dipikirkan dengan matang untuk mendekati situasi nyatanya, senatural mungkin sekaligus mendeskripsikan apa yang sutradara ingin sampaikan.
Adegan saat bapak dan ibu sedang tidur-tiduran sembari menonton televisi memikirkan perangai putranya menjadi adegan yang cukup menyentil, pasalnya begitulah banyak obrolan serius dilakukan oleh masyarakat di desa alih-alih duduk bersama di ruang tamu dengan tegang. Bapak pun sempat jengkel sampai menyuruh Bani untuk keluar saja dari Islam kalau tidak mempercayainya. Tapi toh akhirnya orang tua tak pernah lelah mengingatkan serta tak bisa membenci anaknya hanya karena memiliki pemahaman agama yang tak sesuai dengan yang diharapkan mereka.
Bani memang pada akhirnya berangkat melaksanakan perintah ibunya untuk pergi memilih pada PILKADA kala itu, namun sesampainya di kotak suara, ia memilih untuk golput. Interverensi politik dalam keluarga begitu kental meski tak memaksa. Pun akhirnya, PILKADA dimenangkan oleh lawan calon yang diharapkan ibu Bani. Rasa kesal menyelimuti Ibu Bani saat berjalan di sepanjang gang, dan diakhiri dengan adegan melepas kerudung di kamar.
Tak lama setelah itu kita digiring pada adegan demo menuntut kebijakan pemerintah daerah yang memberlakukan jalan satu arah. Doa-doa dihamburkan ke udara dengan teriakan lantang. Bani mengendarai motor melewati sepanjang jalan satu arah dengan damai, membonceng sang ibu.
Scene terakhir sebagai penutup di mana Bani sedang bertanya pada ibunya untuk menjadi pemain filmnya sukses menggelitik dan menguarkan aroma kehangatan hubungan ibu dan anak. Bani yang cukup “ogah-ogahan” namun sebenarnya sedang membujuk ibunya, dan sang ibu yang mau tapi terkadang menolak dan terus beralasan dan berakhir mau karena menuruti anak lanangnya. Belakangan diketahui saat diskusi perihal proses kreatif pembuatan film tersebut, dalam kacamata ibu Bani menganggap film ini merupakan bentuk implementasi dakwahnya untuk masyarakat sehingga kala menontonnya, cerita Bani, ibunya selalu merasa telah menunaikan apa yang memang baik untuk ia lakukan.

Selasa, 11 September 2018

Two Bodies: Dua Tubuh dalam Satu Busana

Memasuki Rumah Banjarsari pada Selasa malam (11/09/2018) bersama tiga temanku disambut oleh pengunjung yang tampak tidak asing mempersilakan kami untuk masuk melihat pertunjukan kolaborasi. "Baru mulai 1 menit mbak."celetuknya menghibur kami yang memang telah terlambat 15 menit dari waktu pertunjukan dimulai. Pertunjukan sudah berlangsung dalam suasana temaram. Kami berempat memutuskan duduk di barisan depan di antara penonton yang memilih duduk di barisan tengah dan belakang bahkan berdiri di pojok-pojok ruangan.

 Dua orang perempuan yang sedang berbadan dua mengisi panggung pertunjukan. Salah seorang perempuan tersebut yang kami kenal sebagai musisi bernama Safina Nadisa berdiri mengenakan terusan dan celana legging hitam berdiri terdiam menatap seorang perempuan di pojok ruangan. Perempuan di pojok ruangan itulah penggagas koreografi karya kolaborasi malam itu, ia kerap disapa Fitri dengan nama lengkap Fitri Setyaningsih. Inilah yang menjadi perhatian kami semenjak kami duduk dan mendapat mbak Fitri sedang berganti busana beberapa kali. Mengenakan bra dan celana dalam, mbak Fitri berulang kali mengenakan dan melepas beberapa pakaian di dalam sebuah tas ransel. Perut yang telah membesar membuat pakaian-pakain itu tidak pas di badan mbak Fitri lagi. Pun akhirnya mbak Fitri menemukan kaos melar serta celana hamil yang mengikuti liuk tubuh mbak Fitri. Adegan pun berlanjut dengan mbak Fitri yang meminum segelas susu. Sedangkan Safina Nadisa memperagakan beberapa gerakan yoga disusul mbak Fitri.

Pertunjukan ditutup dengan penampilan Safina Nadisa yang membawakan lagu ciptaanya untuk calon bayinya yang berjudul "Grow", kemudian sekitar lebih dari 10 perempuan bersama anak-anaknya maju ke area panngung pertunjukan dan bermain bersama menggambatkan suasana ibu dan anak yang mengharukan diiringi musik yang mengalun tenang.
Karya Kolaborasi "Two Bodies" ini dimaksudkan untuk merayakan sang calon bayi yang akan segera lahir menyambut dunia. Semoga lancar dan sehat selalu mbak Fitri dan mbak Nadisa. Pertunjukan koreografi, dialog, dan nyayian yang luar biasa dan menyentuh hati.

Jumat, 09 Februari 2018

Lirik Instagram- Dean ROMANIZATION + TERJEMAHAN INDONESIA

ROMANIZATION + TERJEMAHAN INDONESIA
naeiri ol geol aneunde
Aku tahu besok akan datang
nan haendeuponeul nochi motae
Tapi aku tidak bisa melepaskan teleponku
jameun ol saenggagi eopttae Yeah
Tidur saja tidak datang padaku, ya
dashi Instagram Instagram hane
Jadi saya di Instagram, Instagram lagi
jal nan saram manko manchi
Begitu banyak foto bagus di sini
nugun eodireul nolleo gattaji
Beberapa sedang berlibur
joayoneun an nulleosseo
Saya tidak menekan “suka”
naman ireon geot gataseo
Cuz rasanya aku satu-satunya yang seperti ini
jeogi Instagram Instagram sogen
Di dalam Instagram, Instagram

munjeya munje
Ini masalah
on sesang soge
Di seluruh dunia
ttokgateun sarangnoraega
Ini lagu cinta yang sama
wa dachi motae
Tapi itu tidak menyentuh saya
naye bam sogen
Di malam hari
saenggagi neomu manne
Ada terlalu banyak pikiran

bokjapae
Ini rumit
teum mannamyeon bakkwineun ge
Mengubahnya begitu sering
gwandullae
Saya tidak ingin melakukan ini
i nome jeongbohwa shidae
Ini adalah informasi menyebalkan
dandanhi jalmot dwaesseo
Pasti ada masalah
yojeumeun aneunge deo
Mulai hari ini, tahu lebih banyak
goeroun geot gateunde
Membuatmu lebih menderita

gamyeon gal surok
Seiring berjalannya waktu
neomu eoryeoweo
Ini semakin sulit
naman ireon geonji
Apakah saya satu-satunya?

Jumat, 31 Maret 2017

Its Hurt



Patah hati - Jumat siang seperti jumat-jumat yang lalu, Segalanya berjalan begitu biasa sampai aku melihat beliau terjatuh. 

Jumat, 22 April 2016

Petualangan Sang Pelukis Arungi Kehidupan- Vincent Van Gogh

Vincent Van Gohg­—Seorang pemuda dari keluarga sukses yang terkenal seantero Eropa. Di masa mudanya ia melewati pengalaman cinta yang pahit, berganti-ganti pekerjaan sampai suatu hari terseret pada kehidupan keras di pertambangan Borinage bersama penduduk desa yang miskin dan kelaparan. Pedihnya kehidupan yang ia jalani akibat  membantu warga Borinage membuatnya berada di ambang kematian. Sampai suatu hari kedatangan adiknya—Theo, membawa gairah hidupnya kembali. Ia mulai menyentuh kanvas dan pensil yang dulunya ia pikir hanyalah sekedar hobi, namun kini jiwanya serasa memanggilnya untuk menjadi seorang pelukis.

Hidupnya memang tak selalu mujur setiap kali ia datang ke suatu daerah. Berbagai pengalaman seperti bertemu dengan para pelukis yang sejalan dengannya, berjumpa dengan gadis yang tulus mencintainya sampai tinggal di rumah sakit jiwa. Semua itu tak membuahkan hasil dalam pencapaian melukisnya. Hingga pada suatu hari yang ia tahu hanya melukis dan melukis tanpa peduli kerapuhan raganya.

Minggu, 20 Maret 2016

Her Morning Elegance / Oren Lavie Analisis



Hai kali ini aku ingin membahas tentang lagu dari Oren Lavie, Her Morning Elegance yang liriknya sudah aku posting sebelumnya. Entah kenapa aku memilih lagu ini untuk dibahas, tapi guys jika kalian mencermati konsep video dan makna dari lirik Oren Lavie ini, mungkin kalian akan merasakan hal yang sama sepertiku. Penasaran, kagum, terhanyut and want to figure it out . And here i am, writing on my blog and learning this lyric!

Sun been down for days
A pretty flower in a vase

Oke aku akui ini nggak bakal jadi analisis murniku karena sebelumnya aku sudah membaca analisis milik orang lain, I feel myself sucks, rrghh!! Its okay but, I guess nothing wrong to try

Lirik pertama membicarakan tentang matahari yang turun atau terbenam, setidaknya itu yang kutangkap. Dan menurutku itu menandakan hidup yang sedang berada di bawah. Dan untuk lirik kedua yang menceritakan sebuah bunga yang cantik di dalam vas, aku lebih tepatnya menyetujui analisis seseorang yang kubaca bahwa itu mengartikan seorang gadis yang cantik namun sedang terperangkap sesuatu. Kenapa kita artikan bunga itu seorang gadis? Karena lirik berikutnya memang menjelaskan seorang gadis, jadi bagaimana? Apa kalian setuju?

Jumat, 18 Maret 2016

Oren Lavie- Her Morning Elegance lyric


Sun been down for days
A pretty flower in a vase

A slipper by the fireplace
A cello lying in its case

Soon she's down the stairs
Her morning elegance she wears

The sound of water makes her dream
Awoken by a cloud of steam
She pours a daydream in a cup
A spoon of sugar sweetens up
And she fights for her life
As she puts on her coat

And she fights for her life on the train
She looks at the rain as it pours
And she fights for her life as she goes in a store
With a thought she has caught by a thread
She pays for the bread and she goes

Nobody knows

Sun been down for days
A winter melody she plays

The thunder makes her contemplate
She hears a noise behind the gate
Perhaps a letter with a dove
Perhaps a stranger she could love

And she fights for her life
As she puts on her coat

And she fights for her life on the train
She looks at the rain as it pours
And she fights for her life as she goes in a store
With a thought she has caught by a thread
She pays for the bread and she goes
Nobody knows
Nobody knows

And she fights for her life
As she puts on her coat

And she fights for her life on the train
She looks at the rain as it pours
And she fights for her life as she goes in a store
Where the people are cleverly strange

And counting the change as she goes
Nobody knows

Songwriters
OREN LAVIE

Published by
Lyrics © BMG RIGHTS MANAGEMENT US, LLC


Read more: Oren Lavie - Her Morning Elegance Lyrics | MetroLyrics