Sebuah perhatian khusus, untuk mencoba mahfum dengan agenda
acara literasi maupun apresiasi film di Solo yang bisa mengalami keterlambatan
hingga 1 jam dari jadwal seharusnya. Mulanya memang mengecewakan, namun tidak
bisa sepenuhnya menyalahkan penggelar acara sebab cukup sulit nyatanya
menghadirkan khalayak ramai dalam acara serupa seperti yang dikehendaki.. Pun,
hujan enggan reda kala itu, layar menyuguhkan tangan yang berkerut membuka
lembaran buku usang sebagai adegan pembuka film, melankolia menjadi paripurna. Beberapa
waktu lalu, Bioskop Banjarsari menghelat pemutaran film dokumenter di Rumah
Banjarsari Solo (20/02). Sebuah kausa awal untuk menambah jejak apresiasi film
di Solo.
Angin Pantai Sanleko mendapat giliran pertama
pemutaran. Film karya Rahung Nasution dan Yogi Fuad tersebut telah memperoleh
nominasi Film Dokumenter Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2018 serta
sebelumnya telah diputar pada Forum Film Dokumenter 2018, Festival Film Indonesia
2018, cum di Cinespace. Sedangkan
film kedua berjudul Sepanjang Jalan Satu Arah merupakan film garapan Bani
Nasution dan telah masuk Nominasi Festival Film Indonesia (FFI) kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik
2017 serta mendapat Special Jury Mention di Sea Short Film Festival 2017. Ini
merupakan pemutaran tahun ke-3 setelah sebelumnya di Jogja-Netpac
Asian Film Festival 2017 dan Kineforum 2018.
Ingatan yang Memudar dan Rasa Serupa
Angin Pantai Sanleko yang berdurasi 19 menit mengusung
sudut pandang yang lebih intim dan sederhana dibanding film Pulau Buru Tanah
Air Beta (2016). Film Buru besutan Rahung Nasution itu mengangkat tema yang
lebih kompleks dan mengambil sudut pandang kesejarahannya. Namun pada tahun
pertama pemutarannya film ini banyak menuai pelarangan sebab ada kaum-kaum
cemas yang merasa film tersebut membangkitkan ideologi komunis. Boleh jadi Angin
Pantai Sanleko dibuat menjadi versi “aman” nya sehingga lebih leluasa untuk
diputar tanpa menimbulkan kontroversi apapun.
Dengan menyorot Ken, putri Hesri Setiawan ekstapol
Pulau Buru. Ken, mendampingi ayahnya untuk menelusuri ingatan serta mengunjungi
teman-temannya dulu saat di Pulau Buru. Hesri memutuskan mendatangi kuburan
mendiang teman satu tempat tidurnya dulu, Heru. Ia menceritakan pada Ken bahwa
ia menandai nomor baju Heru yang berurutan dengan nomornya yang berarti ia dan
Heru akan tidur bersebelahan. Sebuah memori perih, terlebih harus mengingat
Heru yang belum sempat menjejakkan kakinya di luar pulau Buru setelah bebas
hingga akhir hayat.
Ingatan Hesri samar sebab usia menanggalkan dayanya,
ia tidak bisa merasai apa-apa ketika mengunjungi monumen di Desa Savanajaya. Tak luput pula,
puisi Hesri di sela cerita sebagai manifestasi sastrawan yang terasingkan bersama
ribuan tapol lainnya. Penderitaan karena diperlakukan sebagai tahanan politik
dan digiring memasuki pulau Buru dinarasikannya begitu apik sekaligus miris.
Bertemu pula dengan beberapa ekstapol, Hesri
dengan getir menyatakan masa hidupnya tidak akan menentu ke depan, bahkan untuk
memperjuangkan semua yang telah berlalu di Pulau Buru dan membuat pemerintah
mengakui ketidakadilannya selama ini. Mendengar hal itu Ken terisak, ia pun
tidak terima dengan beratnya hidup yang dijalani ayahnya selama ini. Sejarah
yang yang diajarkan di sekolah tak pernah menyentuh cerita ini sama sekali,
bahkan untuk permukaannya sekalipun.
Ken merasa hanya di sini, di pulau Buru, bersama
orang-orang dengan pengalaman yang sama yang bisa membuatnya begitu jujur akan
asal-usul keluarga, mengingat selama ini tidak mudah untuk memperkenalkan
dirinya sendiri di luar pulau Buru, yang pasti menganggap orang-orang yang
berasal dari sana adalah para kriminal. Sehingga kita tahu, keluarga tak pernah
absen terjamah oleh apa-apa yang terjadi di ruang publik kehidupan setiap
anggotanya.
Ihwal demikian bisa pula kita temukan pada
film garapan Pritagita Arianegara Laut Bercerita (The Sea Speaks His Name) yang merupakan visualisasi
novel Leila S.Chudori dengan judul
sejenis. Sepeninggalan Laut yang menjadi korban penculikan oleh aparat
pemerintah, keluarga Laut bersama dengan keluarga lainnya yang mengalami nasib
serupa bersatu untuk terus menuntut keadilan pemerintah dan melakukan aksi
Kamisan bersama.
Lesap Sekat Politik di dalam Keluarga
Angin di
Sepanjang Jalan Satu Arah adalah cerita yang terinspirasi dari kehidupan
pribadi sutradara, Bani Nasution dengan sang ibu yang tinggal di Laweyan, Solo.
Adegan pertama menyorot ibu yang sedang berbicara melihat ke kamera, ke arah
Bani. Membuat penonton begitu dekat dan merasa sedang benar-benar berbincang
dengan ibu. Ibu Bani dinarasikan sebagai sosok yang taat agama, memakai
kerudung bahkan saat di dalam rumah, acapkali mengirim pesan ke Bani ketika
jauh dari rumah untuk sekadar mengingatkan sholat. Namun demikian, Bani sosok
pemuda berambut gondrong yang gemar membuat film dan memiliki pemikiran bebas terkadang
memilih menghindari sang ibu.
Menjelang PILKADA, ibu kian masif
mendesak Bani untuk pulang dan mencoblos. Terutama memilih pemimpin dari segi
agama teramat penting, dan menjadi jihad bagi ibu. Sang ibu pun turut aktif
menjadi tim sukses kala itu. Penggambaran ibu yang menghimbau ibu-ibu lain saat
pengajian untuk mencoblos salah satu calon yang digadang ibu Bani begitu akrab
dengan keseharian nyata politik kita saat ini. Berbaurnya politik dan agama
serta fanatisme berhasil Bani rangkum dengan mengambil sudut pandang ranah privat dan karib
dengan realitas yang ada. Detail setiap adegan dipikirkan dengan matang untuk
mendekati situasi nyatanya, senatural mungkin sekaligus mendeskripsikan apa
yang sutradara ingin sampaikan.
Adegan
saat bapak dan ibu sedang tidur-tiduran sembari menonton televisi memikirkan
perangai putranya menjadi adegan yang cukup menyentil, pasalnya begitulah banyak obrolan serius dilakukan oleh
masyarakat di desa alih-alih duduk bersama di ruang tamu dengan tegang. Bapak
pun sempat jengkel sampai menyuruh Bani untuk keluar saja dari Islam kalau
tidak mempercayainya. Tapi toh akhirnya orang tua tak pernah lelah mengingatkan
serta tak bisa membenci anaknya hanya karena memiliki pemahaman agama yang tak
sesuai dengan yang diharapkan mereka.
Bani
memang pada akhirnya berangkat melaksanakan perintah ibunya untuk pergi memilih
pada PILKADA kala itu, namun sesampainya di kotak suara, ia memilih untuk
golput. Interverensi politik dalam keluarga begitu kental meski tak memaksa. Pun
akhirnya, PILKADA dimenangkan oleh lawan calon yang diharapkan ibu Bani. Rasa
kesal menyelimuti Ibu Bani saat berjalan di sepanjang gang, dan diakhiri dengan
adegan melepas kerudung di kamar.
Tak lama
setelah itu kita digiring pada adegan demo menuntut kebijakan pemerintah daerah
yang memberlakukan jalan satu arah. Doa-doa dihamburkan ke udara dengan
teriakan lantang. Bani mengendarai motor melewati sepanjang jalan satu arah dengan
damai, membonceng sang ibu.
Scene terakhir sebagai penutup di mana Bani sedang
bertanya pada ibunya untuk menjadi pemain filmnya sukses menggelitik dan menguarkan
aroma kehangatan hubungan ibu dan anak. Bani yang cukup “ogah-ogahan” namun
sebenarnya sedang membujuk ibunya, dan sang ibu yang mau tapi terkadang menolak
dan terus beralasan dan berakhir mau karena menuruti anak lanangnya. Belakangan
diketahui saat diskusi perihal proses kreatif pembuatan film tersebut, dalam
kacamata ibu Bani menganggap film ini merupakan bentuk implementasi dakwahnya
untuk masyarakat sehingga kala menontonnya, cerita Bani, ibunya selalu merasa
telah menunaikan apa yang memang baik untuk ia lakukan.